
Di sela-sela waktunya nanti dia akan ajak aku untuk melihat sana-sini
di seputar Yogyakarta, antara lain Keraton Yogya yang selama ini belum
pernah aku melihatnya. Ah.. tumben suamiku punya idea yang brilyan,
senyumku. Aku akan urus cutiku itu. Begitulah, pada hari Minggu, 25
Nopember malam aku bersama suami telah berada di restoran Novotel
Yogyakarta yang terkenal itu. Aku perhatikan semua kursi dipenuhi
pengunjung. Secara ala kadarnya aku diperkenalkan dengan teman-teman
suamiku yang juga datang bersama istri mereka.
Dalam kerumunan meja besar untuk rombongan suamiku ini kami nampaknya
merupakan pasangan yang paling muda dalam usia. Dan tentu saja aku
menjadi perempuan yang termuda dan nampaknya juga paling cantik.
Sementara ibu-ibu yang lain rata-rata sudah nampak ber-cucu atau buyut
barangkali. Dan akhirnya aku tidak bisa begitu akrab dengan para
istri-istri yang rata-rata nenek-nenek itu. Mungkin duniaku bukan lagi
dunia mereka. Cara pandang dan sikap kehidupanku sudah jauh beda dari
masa mereka.
Karena paling muda suamiku kebagian kamar yang paling tinggi di
lantai 5, sementara teman-temannya kebanyakan berada di lantai 2 atau 3.
Bagiku tak ada masalah, bahkan dari kamarku ini aku bisa lebih leluasa
melihat Yogyakarta di waktu malam yang gebyar-gebyar penuh lampu
warna-warni. Malam itu kami serasa berbulan madu yang kedua. Kami
bercumbu hingga separoh malam sebelum tidur nyenyak hingga saat subuh
datang. Pagi harinya kami sempat sedikit jalan-jalan di taman hotel yang
cukup luas itu untuk menghirup udara pagi sebelum kami sarapan bersama.
Jadwal penataran suamiku sangat ketat, maklum disamping setiap session
selalu diisi oleh pembicara tamu atau ahli dari Jakarta, juga dihadiri
oleh pejabat penting dari berbagai tingkatan dan wilayah setanah air.
Setiap pagi suamiku harus sudah berada di tempat seminar di lantai 2
pada jam 7 pagi. Apalagi sebagai anggota rombongan yang termuda dia
seperti kena pelonco, segala hal yang timbul selalu larinya ke dia.
Untung suamiku bertype “positive thinking” dan selalu penuh semangat
dalam melaksanakan semua tugasnya. Sesaat setelah suamiku memasuki ruang
penataran aku sempatkan jalan-jalan di seputar hotel kemudian mencari
book store untuk membeli koran pagi. Sesudah duduk sebentar di lobby aku
balik ke kamar untuk mencoba telpon ke rumah sekedar ‘check rechek’
kegiatan pelayanku di rumah. Kemudian duduk santai membaca koran di balkon kamarku yang
berpanorama atap-atap kampung Yogyakarta sambil minum coklat instant
yang tersedia di setiap kamar Novotel ini. Bosan membaca koran aku buka
channel TV sana-sini yang juga membosankan. Aku berpikir mau apa lagi,
nih. Akhirnya sekitar jam 9 pagi aku berpikir sebaiknya aku turun ke
lobby sambil mencuci mata melihat etalase toko di seputarnya. Aku keluar
kamar melangkah di koridor yang panjang untuk menuju lift.
Bersamaan dengan itu kulihat kamar di depan kamarku pintunya terbuka
dan nampak sepintas di dalamnya ada seseorang setengah umur sedang sibuk
menulis. Dia sempat menengok ke arahku sebelum aku bergerak menuju
lift. Hal yang lumrah di dalam hotel yang tamunya dari segala macam
orang dan asal. Tak terbersit pikiran apapun pada apa yang barusan
tampak oleh mataku. Aku adalah type perempuan yang berpribadi dan paling
teguh menjaga diri sendiri baik karena kesadaran sosial budayaku maupun
kesadaran akan etika moral yang berkaitan dengan nilai-nilai kesetiaan
seorang istri pada suaminya. Kembali aku jalan-jalan di seputar lobby,
di shopping arcade yang menampilkan berbagai rupa barang dagangan
pernik-pernik menarik, ada parfum, ada accessories, ada boutique. Ah..
aku nggak begitu tertarik dengan semua itu. Aku punya pandangan sendiri
bagaimana membuat hidup lebih nyaman dan punya nilai. Aku memang tidak
tertarik dengan pola hidup khalayak. Aku menyenangi keindahan yang serba
alami. Kalau toh ada poles di sana, itu adalah ‘touch’ yang lahir dari
sikap budaya sebagaimana manusia yang memang memiliki rasa dan pikir.
Demikian pula yang berkaitan dengan kecantikan. Aku sangat menyadari
bahwa basis tampilanku adalah perempuan yang cantik. Dan hal itu
terbukti dari banyak orang yang sering secara langsung ataupun tidak
langsung memberikan komentar dan penghargaan atas kecantikanku serta
sikapku pada kecantikanku itu. Aku ingin kecantikkan yang juga memancar
dari sikap budayaku. Dengan demikian aku akan selalu cantik dalam
keadaan apapun. Oleh karenanya aku sangat menyukai ‘touch’ yang sangat
mencerminkan kemuliaan pribadi. Buatku hidup ini sangat tinggi maknanya
dan perlu disikapi secara mulia, khas dan penuh kepribadian. Sesudah 1
jam jalan dan lihat sana-sini kembali aku dilanda rasa bosan yang
menuntunku untuk balik ke kamar saja.
Aku memasuki kembali lift menuju kamarku di lantai 5. Aku masih
melihat kamar depanku yang tetap pintunya terbuka. Aku membuka pintuku
dan masuk. Aku sedang hendak mengunci kembali kamarku ketika terdengar
dari luar sapaan halus. “Selamat pagi” Yang spontan aku jawab selamat
pagi pula sambil membuka sedikit pintuku. Kulihat lelaki dari kamar
depanku itu dan begitu cepat menyisipkan tangannya ke celah pintu dan
meraih daunnya, kemudian dengan sangat sigap pula masuk menelusup ke
kamar sebelum aku menyadari dan mempersilahkannya. Hal yang sungguh
sangat tidak mengenakkan aku. Aku tidak terbiasa berada dalam sebuah
ruangan tertutup dengan lelaki lain yang bukan suamiku. Tetapi peristiwa
itu rasanya berlangsung demikian cepat. Bahkan kemudian lelaki itu
merapatkan dan langsung mengunci pintuku hingga kini benar-benar aku
bersamanya dalam kamar tertutup dan terkunci ini. Ini adalah sebuah
kekeliruan yang besar. Aku langsung marah dan berusaha menolaknya keluar
dengan meraih kunci di pintu. Tetapi kembali dia lebih sigap dari aku.
“Tenang, zus, jangan takut. Aku nggak akan menyakiti zus, kok. Aku cuma
sangat kagum dengan kecantikan yang zus miliki. Benar-benar macam
kecantikan yang lahiriah maupun kecantikkan dari dalam batin.
Inner beauty. Khayalanku menjadi melambung jauh setiap melihat zus.
Sejak semalam di meja makan saat makan malam, kebetulan aku berada di
samping meja makan rombongan suami zus, aku lihat tangan-tangan lentik
zus. Aku pastikan zus sangat cantik. Dan pagi tadi saat zus jalan-jalan
di taman bersama suami dan kemudian juga jalan-jalan di sekitar lobby
kembali aku sangat mengagumi penampilan zus. Aku sangat terpesona dan
tak mampu menahan diriku. Aku kepingin sekali tidur bersama zus, pagi
ini”. Orang itu memandangkan matanya tajam ke mataku. Omongan orang itu
benar-benar biadab, tak punya malu. Apalagi rasa hormat. Dia seakan
begitu yakin pasti menang atasku. Edan! Kok ada orang edan macam ini.
Omongan panjangnya kurasakan sangat merendahkan diriku, kurang ajar,
mengerikan dan menakutkan.
Limbung dan ketakutan yang amat sangat langsung melanda sanubariku.
Bulu kudukku merinding. Aku sepertinya jatuh dari ketinggian tanpa tahu
akhirnya. Rasa sesak nafasku demikian menekan emosiku. Aku merasa begitu
sangat lemah, terbatas dan tak punya pilihan. Jangan harap kebaikan
dari lelaki biadab ini. Dia jelas tidak menyadari dan paham betapa aku
mengagungkan nilai-nilai hidup ini. Dia tidak tahu betapa aku selalu
takut pada pengkhianatan dan pengingkaran terhadap kesetiaanku pada
suami. Aku sama sekali tak pernah siap akan hal-hal yang sebagaimana
kuhadapi saat ini. Sungguh edan!! Kemudian dengan kalemnya dia raih
tangan dan pinggangku untuk memelukku.
Harga diri dan martabatku langsung bangkit marah. Aku berontak dan
melawannya habis-habisan. Tanganku meraih apapun untuk aku pukulkan pada
lelaki itu. Kutendangkan kakiku ke tubuhnya sekenanya, kucakarkan
kukuku pada tubuhnya sekenanya pula. Tetapi.. Ya ampuunn.. Dia sangat
tangguh dan kuat bagiku. Lelaki itu berpostur tinggi pula dan
mengimbangi tinggiku, dan usianya yang aku rasa tidak jauh beda dengan
usia suamiku disertai dengan otot-otot lengannya yang nampak gempal saat
menahan pegangan tanganku yang terus berontak dan mencakarinya. Dia
seret dan paksa aku menuju ke ranjang. Aku setengah dibantingkannya ke
atasnya. Dan aku benar-benar terbanting. Kacamataku terlempar entah ke
mana. Teriakanku sia-sia. Aku rasa kamar Novotel ini kedap suara
sehingga suaraku yang sekeras apapun tidak akan terdengar dari luar.
Karena perlawananku yang tak kenal menyerah dia dengan cepat meringkus
tangan-tanganku dan mengikatnya dengan dasi suamiku yang dia temukan dan
sambar dari tumpukan baju dekat ranjang hotel.
Dia ikat tanganku ke backdrop ranjang itu. Aku meraung, menangis dan
berteriak sejadi-jadinya hingga akhirnya dia juga sumpel mulutku, entah
pakai apa, sehingga aku tak mampu lagi bergerak banyak maupun berteriak.
Sesudah itu dia tarik tungkai kakiku mengarah ke dirinya. Dia nampak
berusaha menenangkan aku, dengan cara menekan mentalku, seakan meniupi
telingaku. Dia berbisik dalam desahnya, “Ayolah, zus, jangan lagi
memberontak. Nanti lelah saja. Percuma khan, Waktu kita nggak banyak.
Sebentar lagi suami zus istirahat makan siang. Dan bukankah dia selalu
menyempatkan untuk menjemput zus untuk makan bersama?!”. Aku berpikir
cepat menyadari kata-katanya itu dan menjadi sangat khawatir.
Ini orang memang betul-betul lihay. Mungkin memang tukang perkosa
profesional. Dia seakan tahu dan menghitung semuanya. Dia bisa
melemparkan isue yang langsung menekan. Dia tahu bahwa aku tidak mau
kehilangan suamiku. Dan dia juga tahu, kalau toh kepergokpun, dia tak
akan merugi. Hampir tak pernah dengar ada suami yang melapor istrinya
diperkosa orang. Yang ada hanyalah seorang suami yang menceraikan
istrinya tanpa alasan yang jelas. Disinilah bentuk tekanan lelaki biadab
ini padaku. Sementara itu tindakan brutalnya terus dilakukannya. Dia
robek blusku dengan kekerasannya untuk menelanjangi dadaku. Dia
hentakkan kutangku hingga lepas dan dilemparkannya ke lantai.
Kemudian dengan seringainya dia menelusurkan mukanya. Dia benamkan
wajahnya ke ketiakku. Dia menciumi, mengecup dan menjilati lembah-lembah
ketiakku. Dari sebelah kanan kemudian pindah ke kiri. Yang kurasakan
hanyalah perasaan risih yang tak terhingga. Suatu perasaan yang terjadi
karena tiba-tiba ada sesuatu, entah setan, binatang atau orang telah
merangseki tu Tangan-tangannya menjamah dan menelusup kemudian mengelusi
pinggulku, punggungku, dadaku. Tangannya juga meremas-remas susuku.
Dengan jari-jarinya dia memilin puting-puting susuku. Disini dia
melakukannya mulai dengan sangat pelan. Ah.. Bukan pelan, tt.. tetapi..
lembut. Dd.. dan.. dan demikian penuh perasaan. Kurang ajaarr..! D..
dd.. dia pikir bisa menundukkan aku dengan caranya yang demikian itu.
Aku terus berontak dalam geliat.. Tetapi aku bagai kijang yang telah
lumpuh dalam terkaman predatornya. Aku telah rebah ke tanah dan
cakar-cakar predatorku telah menghunjam di urat leherku. Kini aku
hanyalah seonggok daging konsumsi predatorku.
Aku sesenggukan melampiaskan tangisku dalam sepi. Tak ada suara dari
mulutku yang tersumpal. Yang ada hanya air mataku yang meleleh deras.
Aku memandang ke-langit-langit kamar Novotel. Aku demikian sakit atas
ketidak adilan yang sedang kulakoni. Kini lelaki itu melihati aku. Aku
menghindarkan tatapan matanya. Dia menciumi pipiku dan menjilat air
mataku, “Duhh, sayangkuu.. kamu cantik banget, siihh.. “, orang ini
benar-benar kasmaran padaku. Dia juga menciumi tepian bibirku yang
tersumpal. Kini kengerian dari kebiadaban berikutnya datang menyusul.
Tangannya sigap menyibakkan gaun penutup wilayah rahasiaku. Tangan
lainnya mencapai pahaku dan mulai meraba-raba kulitku yang sangat halus
karena tak pernah kulewatkan merawatnya. Lelaki ini tahu kehalusan
kulitku. Dia merabanya dengan pelan dan mengelusinya semakin lembut.
Ucchh.. Betapa aku dilanda perasaan malu yang amat sangat. Aku yang tak
pernah menunjukkan auratku selama ini, tiba-tiba ada seorang lelaki
asing yang demikian saja merabaiku dan menyingkap segala kerahasiaanku.
Kemudian dia kembali melanjutkan kebiadabannya, dia merenggut dan
merobek gaunku. Dia tarik dari haribaan tubuhku. Dia campakkan ke lantai
sebagaimana kutangku tadi. Dan kini aku hanyalah perempuan yang hina
dengan setengah telanjang dan siap dalam perangkap lumatannya. Aku
merasakan sepertinya dia telah merobeki jiwaku dan mencampakannya ke
lantai kehinaan perempuan. Aku merasakan betisku, pahaku kemudian
gumpalan bokongku dirambati tangan-tangannya. Berontakku sekali lagi
hanyalah kesia-siaan. Dia menindih berat dengan dadanya. Wajahnya
mendekat hingga kurasakan nafasnya yang meniupkan angin ke
selangkanganku. Lelaki itu mulai menenggelamkan wajahnya ke
selangkanganku. Bukan main. Belum pernah ada seorangpun berbuat macam
ini padaku. Juga tidak begini suamiku selama ini. Edan. Edaann..!! Aku
tak kuasa menolak semua ini. Segala berontakku kandas.
Kemudian aku merasakan lidahnya menyapu pori-pori selangkanganku.
Edaann..!! Lidah itu sangat pelan menyapu dan sangat lembut. Sesaat
sepertinya aku berada di persimpangan jalan. Di depan mataku ada 2
potret. Aku membayangkan suamiku dan sekaligus lelaki ini. Salahkah aku?
Dosakah aku? Siapa yang salah? Kenapa aku ditinggal sendirian di kamar
ini?
Kenapa mesti ada lelaki ini? Aku berpusing. Duniaku seakan-akan
berputar dan aku tergiring pada tepian samudra yang sangat mungkin akan
menelan dan menenggelamkan aku. Aku mungkin sedang terseret dalam sebuah
arus yang sangat tak mampu kulawan. Aku merasakan lidah-lidah lelaki
ini seakan menjadi seribu lidah. Seribu lidah lelaki ini menjalari semua
bagian-bagian rahasiaku. Seribu lidah lelaki inilah yang menyeretku ke
tepian samudra kemudian menyeret aku untuk tertelan dan tenggelam.
Ammpuunn.. Bayangan kengerian akan ingkarnya kesetiaan seorang istri
menerkam aku.
Keringatku meluncur deras. Aku tak bisa pungkiri. Aku sedang jatuh
dalam lembah nikmat yang sangat dalam.. Aku sedang terseret dan
tenggelam dalam samudra nafsu birahiku. Aku sedang tertelan oleh
gelombang nikmat syahwatku. Salahkah akuu..?? Salahkah..?? Dan saat
kombinasi lidah yang menjilati selangkanganku dan sesekali dan jari-jari
tangannya yang mengelusi paha di wilayah puncak-puncaknya rahasiaku,
aku semakin tak mampu menyembunyikan rasa nikmatku. Isak tangisku
terdiam, berganti dengan desahan dari balik kain yang menyumpal mulutku.
Dan saat kombinasi olahan bibir dan lidah dipadukan dengan bukan lagi
sentuhan tetapi remasan pada kemaluanku, desahanku berganti dengan
rintihan yang penuh derita nikmat birahi. Aku telah tenggelam. Dan
gelombang itu kini menggoyang pantatku.
Aku menggelinjang. Aku histeris ingin.. Yaa.. Aku ingin! Aku punya
ingin menjemputi ribuan lidah dan jari-jari lelaki ini. Ampuunn..!!
Masih adakah aku?? Dan ah.. Pintarnya lelaki ini. Dia begitu yakin bahwa
aku telah tenggelam. Dia begitu yakin bahwa aku telah tertelan dalam
syahwatku. Dia renggut sumpal di mulutku. “Ayolah, sayang..
mendesahlah.. merintihlah.. Ambil nikmatmu. Teguk haus birahimu..”, Aku
mendesah dan merintih sangat histeris. Kulepaskan dengan liar derita
nikmat yang melandaku. Aku kembali menangis dan mengucurkan air mata.
Aku kembali berteriak histeris. Tetapi kini aku menangis, mengucurkan
air mata dan berteriak histeris beserta gelinjang syahwatku.
Aku meronta menjemput nikmat. Aku menggoyang-goyangkan pinggul dan
pantatku dalam irama nafsu birahi yang menerjangku. Dan sejak saat itu
aku memasuki wilayah tak terhingga, tanpa batasan norma sekaligus
meninggalkan batasan-batasan yang selama ini kupertahankan dengan sangat
teguhnya. Aku memasuki suatu wilayah yang terbersit sepintas, bahwa aku
sebenarnya pernah menginginkan nilai macam ini, nilai dimana tak ada
kekhawatiran, ketakutan, rasa salah dan rasa mengkhianati. Aku memasuki
wilayah dimana aku eksis secara murni menjadi diriku. Mungkin semacam
ini alamiahku, yang adalah mahkluk untuk dipenuhi keinginan nafsu dan
birahi yang demikian bebas tanpa kendali.
Bahkan aku merasa ini adalah hak. Hak-ku. Aku merasa ber-hak untuk
mendapatkannya. Dan ke-tak terhingga-an serta ke-tak terbatas-an itu
merayap menuju puncaknya ketika aku diterpa rasa dingin menggigil serta
gemetar seluruh tubuhku yang disebabkan bibir lelaki itu merambah turun
meluncur melewati perutku dan langsung menghunjam terperosok
ke-kemaluanku. Aku tak mampu mengendalikan diriku lagi. Aku
bergoncang-goncang mengangkati pantatku untuk mendorong dan menjemputi
bibirnya karena kegatalan yang amat sangat pada kemaluanku. Dengan serta
merta pula aku berusaha menjilati buah dadaku sendiri menahan gelinjang
nikmat yang melanda nafsu birahiku.
Dan kurasakan betapa kecupan, gigitan dan ruyak lidah lelaki ini
membuat gigil dan gemetarku melempar aku ke lupa diri. Akhirnya karena
tak mampu aku menahannya lagi aku merintih. “Hauss, mmaass.. Aku
hauss..” Rintihan itu membuat lelaki itu mendekatkan wajahnya ke wajahku
hingga bisa kuraih bibirnya. Aku rakus menyedotinya. Kehausanku yang
tak bisa kubendung membuat aku ingin melumati mulutnya. Aku berpagut
dengan pemerkosaku. Aku melumat mulutnya sebagaimana sering aku melumati
mulut suamiku saat aku sudah sangat di puncak birahiku. Aku benar-benar
dikejar badai birahiku. Aku benar-benar gelisah gelombang syahwatku.
Biasanya kalau sudah begini suamiku langsung tahu. Dia akan menusukkan
penisnya ke vaginaku untuk menutup kegairahanku. Dia akan menjejalkan
kontolnya dan memekku pasti cepat menjemputnya. Dan kini aku benar-benar
menunggu lelaki itu memasukkan kontolnya ke kemaluanku pula. Aku
sebenar-benarnya berharap karena sudah tidak tahan merasakan badai
birahiku yang demikian melanda seluruh organ-organ peka birahi di
tubuhku. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang sama sekali diluar
dugaanku. Aku sama sekali tak menduga, karena memang aku tak pernah
punya dugaan sebelumnya.
Kemaluan lelaki ini demikian gedenya. Rasanya ingin tanganku
meraihnya, namun belum lepas dari ikatan dasi di backdrop ranjang ini.
Yang akhirnya kulakukan adalah sedikit mengangkat kepalaku dan berusaha
melihati kemaluan itu. Ampuunn.. Sungguh mengerikan. Rasanya ada pisang
tanduk gede dan panjang yang sedang dipaksakan untuk menembusi memekku.
Aku menjerit tertahan. Tak lagi aku sempat memandangnya. Lelaki ini
sudah langsung menerkam kembali bibirku. Dia kini berusaha meruyakkan
lidahnya di rongga mulutku sambil menekankan kontolnya untuk menguak
bibir vaginaku. Selama ini aku pikir kontol suamiku itulah pada umumnya
kemaluan lelaki itu. Kini aku dihadapkan kenyataan betapa besar kontol
di gerbang kemaluanku saat ini, yang terus berusaha mendesaki dan
menembusi kemaluanku tetapi tak kunjung berhasil.
Aku sendiri sudah demikian kehausan dan tanpa malu lagi mencoba
merangsekkan lubang kemaluanku tetapi tak juga berhasil. Cairan-cairan
yang mestinya melicinkanpun belum bisa membantu lancirnya kontol itu
memasuki kemaluanku. Tetapi lelaki ini ada cara. Dia meludah pada
tangannya untuk kemudian menambahi lumuran pelicin pada bibir
kemaluanku. Dia lakukan 2 atau 3 kali. Dan sesudahnya dia kembali
menyorongkan ujung kontolnya yang dengan serta merta aku menyambutnya
hingga.. Blezzhh.. Ampuunn.. Kenapa sangat nikmat begini, ya, ampuunn..
Kemana nikmat macam ini selama ini..?? Kemana nikmat dari suamiku yang
seharusnya kudapatkan selama ini..?? Kenapa aku belum pernah merasakan
nikmat macam ini..?? Kombinasi ke-sesakkan karena cengkeraman kemaluanku
pada bulatan keras batang besar kontol lelaki ini sungguh menyuguhkan
sensasi terbesar dalam seluruh hidupku selama ini. Aku rasanya terlempar
melayang kelangit tujuh. Aku meliuk-liukkan tubuhku, menggeliat-liat,
meracau dan mendesah dan merintih dan mengerang dan.. Aku bergoncang dan
bergoyang tak karuan.. Ya, ampuunn.. Orgasmeku dengan cepat menghampiri
dan menyambarku.
Aku kelenger dalam kenikmatan tak bertara. Lelaki ini langsung
mematerikan nilai tak terhingga pada sanubariku. Aku masih kelenger saat
dia mengangkat salah satu tungkai kakiku untuk kemudian dengan semakin
dalam dan cepat menggenjoti hingga akhirnya muntah dan memuntahkan
cairan panas dalam rongga kemaluanku. Uhh.. Nikmat inii.. Uucchh.. Kami
langsung roboh. Hening sesaat. Aneh, aku tak merasa menyesal, tak merasa
khawatir, tak merasa takut. Ada rasa kelapangan dan kelegaan yang
sangat longgar. Aku merasakan seakan menerima pencerahan. Memahami arti
nikmat yang sejati dari peristiwa ranjang. Demikian membuat aku seakan
di atas rakit yang sedang hanyut dalam sungai dalam yang sangat anteng.
Aku bahkan tertidur barang 5 menit. Aku bangun karena dering telpon. Itu
pasti suamiku.
Aku langsung cemas. Lelaki itu tak lagi berada di sampingku. Aku coba
tengok ke kamar mandi sebelum menjawab telepon. Tak juga kutemui.
Ternyata itu telepon dari kamar di depanku, telepon dari lelaki itu.
“Zus, cepat mandi, 15 menit lagi suamimu kembali ke kamar, saatnya
mereka istirahat”. Ah, bijak juga dia. Aku rapikan ranjang dan
sepreinya, kemudian cepat mandi. Siang itu aku usul pada suamiku untuk
makan di kamar saja, badanku agak nggak enak, kataku. Memang badanku
agak lemes sejak aku mendapatkan orgasmeku yang bukan main dahsyatnya
tadi. Dan aku merasakan ada kelegaan sedikit, tak ada nampak bekas-bekas
ulah lelaki itu pada bagian-bagian peka tubuhku. Saat ketemu di siang
itu suamiku nampak menunjukkan sedikit prihatin padaku. Dia tahu aku
dilanda rasa bosan menunggu. Dia sarankan aku jalan-jalan ke Molioboro
atau tempat lainnya yang tak begitu jauh dari hotel. Aku mengangguk
setuju. Ah.. Akhirnya aku dapat ide. Menjelang jam 1 siang suamiku
kembali ke ruang penataran di lantai 2, dan jam 1 lebih 5 menit lelaki
itu kembali menelponku, aku nggak menjawab langsung kututup. Aku kembali
merasa ketakutan pada apa yang aku pahami selama ini. Aku tak akan
melanggarnya lagi. Yang sudah, ya, sudah. Masak aku mesti sengaja
mengulangi kesalahanku lagi. Tetapi tiba-tiba ada ketukan di pintu. Aku
curiga, lelaki itu datang lagi. Dan aku nggak tahu, kenapa aku ingin
tahu. Aku ingin tahu siapa yang mengetuk itu, walaupun aku sudah hampir
pastikan dia sang lelaki yang tak kukenal itu.
Kuintip dari lubang lensa kecil di pintu. Dan benar, dia lagi. Dari
dalam aku teriak kasar, mau apa kamu, yang dia sahuti dengan halus.
“Sebentar saja zus, aku mau bicara. Sebentar saja, zus, ayo dong, bukain
pintu”, pintanya. Aku jadi ingat akan gelinjang nikmat yang aku terima
darinya. Aku juga ingat betapa kontolnya tak pernah kurasakan nikmat
macam itu. Aku juga ingat betapa lidahnya yang menyelusuri gatal bukit
dadaku. Dan aku ingat pula betapa gigitan kecilnya pada pentilku
demikian merangsang dan menggetarkan seluruh tubuhku. Kini aku lihat
kembali bibir edan itu dari lubang pintu ini. Dan tanpa bisa kuhindarkan
tangan kananku menggerakkan turun handle pintu ini. Dan, clek, terbuka
celah sempit di ambang pintu. Dan dengan cepat, sret, tangan lelaki itu
cepat menyelip di celah ambang itu. “Sebentar, saja zus, perbolehkan aku
masuk” Dia tidak menunggu ijinku. Kakinya langsung mengganjal pintu dan
dengan kaki lainnya mendorong, dia masuk. Kembali dia memeluki aku,
lantas menciumi bibirku, lantas menyingkap gaunku, lantas melepasi
kutangku, lantas memerosotkan celana dalamku. Lantas mengelusi pantatku,
pahaku, meremasi kemaluanku kembali, bibirnya terus melumati bibirku.
Kacamataku diangkatnya. Itulah rangkaian serangannya padaku. Pada
awalnya aku kembali berusaha berontak dan melawan, walaupun kali ini
tidak segigih pada peristiwa pagi tadi. Dan aku yang memang bersiap
untuk “keok” langsung takluk bersimpuh saat tangan ototnya meremasi
wilayah peka di selangkanganku. Kali ini dia gendong aku menuju
ke-ranjang dan sama-sama berguling di atasnya. Tetapi kali ini dia tidak
menelanjangi aku. Dia hanya singkapkan gaunku, kemudian dia memelukku
dari arah punggungku. Dia lumati kudukku yang langsung membuat aku
menjadi sedemikian merinding dan tanpa kuhindarkan tanganku jadi erat
memegangi tangannya. Suatu kali ciuman di kudukku demikian membuat aku
tergelinjang hingga aku menengokkan leherku untuk menyambar bibirnya.
Kami saling berpagut dengan buasnya. Lelaki itu rupanya ingin menambah
khasanah nikmat seksual baru padaku. Aku tak tahu kapan dia melepasi
celananya, tahu-tahu kontolnya sudah menyodokki kemaluanku dari arah
belakangku. Dengan posisi miring serta satu tungkai kakiku dia peluk ke
atas, kontolnya menyerbu memekku dan.. Blezzhh.. Blezzhh..
Blezzhh.. Dia kembali memompa. Rupanya kemaluanku sudah cepat
adaptasi, kontol gedenya tak lagi kesulitan menembusi memekku ini.
Posisi ini, duh.. Nikmatnya tak alang kepalang. Macam ini sungguh
menjadi kelengkapan sensasi perkosaannya padaku yang kedua. Ah, entah,
ini masih bisa disebut sebagai perkosaannya padaku atau sudah menjadi
penyelewenganku pada suamiku. Rasanya sudah tak lagi penting buatku yang
kini sedang demikian sepenuhnya menikmati kerja lelaki ini pada
tubuhku. Beberapa kali dia membetulkan singkapan gaunku yang menghalangi
pompaan kontolnya pada kemaluanku. Sesudah beberapa lama dalam nikmat
posisi miring, diangkatnya tubuhku menindih tubuhnya. Posisi baru ini
menuntut aku yang harus aktif bergerak. Terlintas rasa maluku. Tak
pernah aku berlaku begini. Biasanya aku merupakan bagian yang pasif
dalam ulah sanggama dengan suamiku, tetapi kali ini.
“Ayo, sayang, naik turunkan pantatmu, sayang, ayoo..” Lelaki itu
setengah memaksa aku untuk menaik turunkan pantatku dalam menerima
tembusan kontolnya dari bawah tubuhku. Dan sesungguhnya aku yang memang
sangat kegatalan menunggu sodokkan-sodokkannya kini berusaha
menghilangkan rasa maluku dan mencoba memompa. Uh.., sungguh tak terduga
nikmatnya. Aku mengerang dan merintih setengah berteriak setiap kali
aku menurunkan pantatku dan merasakan betapa kontol gede itu meruyak di
dalam rongga kemaluanku, menggeseki saraf-saraf gatal di dalamnya.
“Sayang, coba kamu duduk tegak dengan terus memompa, kamu akan merasakan
sangat nikmat. Saya jamin pasti kamu nggak mau berhenti nantinya”,
begitulah dia antara menghimbau dan memerintah aku yang dengan tangannya
mengangkat tubuhku tanpa melepaskan kontolnya dari kemaluanku. Dan
dengan aku berposisi duduk membelakangi dia dan tanganku yang bertumpu
pada dadanya, aku kembali memompa. Ah.., dia benar lagi. Ini kembali
menjadi sensasi seksualku, karena aku sekarang melihat betapa diriku
nampak di cermin kamarku dengan kerudung rambutku yang sudah awut-awutan
dan demikian basah oleh keringatku. Aku seperti main enjot-enjotan
naik-turun di atas kuda-kudaan.
Sepintas ada malu pada ulahku itu. Kok, bisa-bisanya, hanya dalam
waktu satu hari aku melakukan hubungan mesum perkosaan atau
penyelewengan, entahlah, dengan lelaki yang tak kukenal ini. Dan yang
terjadi kemudian adalah genjotan naik turunku semakin cepat saja. Aku
merasakan betapa kegatalan yang sangat menguasai rongga kemaluanku.
Serta dengan menyaksikan diriku sendiri pada cermin yang tepat di
mukaku, nafsu birahiku langsung melonjak dan mendorong gelinjangku
kembali mendekati orgasmeku yang kedua dalam tempo tidak lebih dari 4
jam ini. Dan saat orgasme itu akhirnya benar-benar hadir, aku kembali
berteriak histeris mengiringi naik turunnya pantatku yang demikian
cepat. Kontol yang keluar masuk pada lubang kemaluanku nampak seperti
pompa hidrolik pada mesin lokomotif yang pernah aku lihat di stasiun
Gambir. Lelaki itu juga membantu cepatnya keluar masuk kontolnya. Aku
kembali rubuh.
Sementara dia, lelaki yang belum memuasi dirinya itu menyeretku ke
tepian kasur dan meneruskan pompaannya hingga menyusul mencapai titik
klimaksnya. Dia cengkeram pahaku dan kurasakan kedutan-kedutan kontolnya
menyemprotkan cairan kental panas pada kemaluanku kembali. Saat jeda,
dia menceritakan siapa dirinya. Dia adalah seorang dokter kandungan. Dia
sangat tahu seluk beluk persenggamaan. Dia tahu gaya-gaya dalam meraih
nikmat sanggama. Dia tahu titik-titk peka pada tubuh perempuam. Dia tahu
mana yang baik dan buruk. Dia puji aku setengah mati, betapa otot-otot
kemaluanku demikian kencang mencengkeram kontolnya. Namanya Dr. Ronald,
52 tahun, asli Malang. Dia buka praktek di beberapa kota. Minggu
terakhir di setiap bulan dia berada di Yogya untuk melayani pasien di
beberapa rumah sakit di Yogya. Dia memang tidak ada giliran ke kotaku.
Aku boleh panggil Ron saja atau Ronad. Aku pikir dia adalah lelaki yang
luar biasa.
Dan aku lega saat dia mengenalkan dirinya. Aku lega karena dia
termasuk orang terpelajar dan punya identitas. Dia tidak liar. Dan dia
bilang bertanggung jawab apabila ada hal yang nggak benar padaku karena
bersanggama dengannya. Dia memberikan aku kartu nama. Aku terima dan tak
kuatir pada suamiku, karena dia dokter kandungan, yang mungkin saja aku
dapatkan dari referensi teman-temanku. Sore itu dia memberikan aku
sekali lagi orgasme. Huh.. sungguh melelahkan dan sekaligus sangat
memuaskan aku. Dan yang paling mengesankan bagiku, sesiang hari ini
dalam 3 kali persanggamaan aku meraih 6 kali orgasme. Aku nggak tahu
lagi, bagaimana aku harus bersikap padanya. Saat suamiku pulang, kamarku
sudah kembali rapi, seakan tak ada yang terjadi. Aku sudah mandi dan
dandan agar tidak menampakkan kelelahanku. Dan malam itu aku bersama
suamiku kembali makan malam bersama. Di pojok ruang makan kulihat meja
dengan 4 kursi yang hanya diduduki seorang, dr. Ronad. Dia nampak tidak
berusaha memandang aku.
Dia menyibukkan dirinya dengan bacaan dan tulis menulis. Sungguh
suatu kamuflase yang hebat. Pada keesokan harinya, hanya 10 menit
sesudah suamiku turun ke lantai 2 untuk mengikuti penataran di hari ke
dua, dr. Ronad kembali mengetuk pintu. Kembali aku menghadapi peperangan
bathinku. Masa, perkosaan bisa terjadi sekian kali berturut-turut, dan
sementara itu, apabila disebut sebagai penyelewengan, bagaimana
perempuan tegar dan berkepribadian seperti aku ini demikian mudah runtuh
oleh nikmatnya perselingkuhan. Tetapi bayangan dan segala macam
keraguanku itu hanyalah menjadi awal dari elusan dan rabaan batin yang
langsung membangkitkan naluriah nafsu birahiku.
Aku sudah mulai berselingkuh sebelum perselingkuhan itu di mulai. Aku
telah benar-benar runtuh. Aku bukakan pintu untuk Ronad. Rasa harga
diriku yang masih tersisa mendramatisir keadaanku. Aku bertindak seakan
menolak saat Ronad menggendong aku dari ambang pintu ke peraduanku.
Tetapi segala ocehanku langsung bungkam saat bibirnya melumat bibirku.
Segala tolakan tanganku langsung luruh saat tangannya memilin
pentil-pentilku. Segala hindar dan elak tubuhku langsung sirna saat
pelukan tangannya yang kekar merabai pinggul dan bokongku. Dan segala
keinginan untuk “Tidak!” langsung musnah saat kombinasi lumatan di
bibir, pelukan di pinggul, rabaan pada pantatku merangsek dengan sertaan
nafasnya yang memburu. Aku aktip menunggu Ronad melahapku. Dia
mengulangi awal yang seperti kemarin, merangkul dan memulai dari
belakang punggungku, memelukku kemudian menjilati kudukku. Aku meronta
bukan untuk melawan, tetapi meronta karena menerima kenikmatan. Aku
menengokkan leherku hingga bisa meraih wajahnya.
Kulumati bibirnya. Dan seperti kemarin, setelah menyingkap busana
yang menutup bokongku hingga paha dan memekku terpampang, tahu-tahu
kontolnya sudah telanjang menyelip dari celah celana dalamku, siap
berada di gerbang kemaluanku. Sambil kami saling melumat dia
mendorongkan kontolnya, aku mendorongkan memekku menjemputnya. Saat
akhirnya.. Blezzhh.. Kami langsung saling merintih dan berdesahan.
Itulah simponi birahi di kamar Novotel di lantai 5 di pagi hari ini,
sementara itu, mungkin suamiku sedang asyik berdebat bersama anggota
teamnya di lantai 2. Sekarang gantian sayang, biar aku yang numpakin
kamu, yaa..” suara gemetar Ronad nampak menahan birahinya. Aku
dibalikannya dengan tetap mempertahankan lengkungan tubuhku hingga jadi
nungging dengan kepalaku bertumpu pada kasur. Sesudah sedikit dia
betulkan posisiku dan kembali lebih singkapkan busana rapetku, dengan
setengah berdiri dia mengangkangin aku mulai dari arah pantatku.
Kontolnya dia tusukkan ke memekku.
Duh, duh, duh.. Apa lagi ini. Kenapa gatalku langsung dengan cepat
melanda memekku. Aku membayangkan bibir kemaluanku pasti dengan haus
menunggu kepala kontol gede itu. Dan aku merasakan saat ujungnya
mendorong aku hingga akhirnya amblas menghunjam ke dalamnya. Dalam
hatiku aku berfikir, kok macam anjing kawin, ya. Kemudian Ronad mulai
kembali memompa. Huuhh.. Jangan lagi tanya betapa nikmatnya. Aku seperti
diombang-ambingkan gelombang Lautan Teduh. Setiap tusukkan aku sambut
dengan cengkeraman memekku, dan akibatnya saraf-saraf pekaku merangsang
gelinjang nikmat birahiku. Dan saat kontolnya dia tarik keluar, dinding
kemaluanku menahan sesak hingga kembali saraf-saraf pekaku melempar
gelinjang nikmat birahi. Keluar, masuk, keluar, masuk, keluar, masuk..
Aku semakin nggak lagi mampu menahan kegelianku. Tangan-tanganku
meremasi tepi-tepi kasur untuk menahan deraan geli-geli nikmat itu. Aku
membiarkan air liurku meleleh saat aku terus menjerit kecil dan
mendesah-desah. Mataku tak lagi nampak hitamnya. Aku lebur melayang
dalam nikmatnya kontol yang keluar masuk menembusi memekku ini. Dan saat
tusukkannya makin cepat menggebu, aku tahu, dia akan meraih orgasmenya
mendahului orgasmeku.
Kubiarkan. Bahkan kudorong dengan desahan dan rintihanku yang
disebabkan rasa pedih dan panasnya gesekkan cepat batang kontolnya yang
sesak menembusi kemaluanku ini. Akhirnya dia menumpahkan berliter-liter
spermanya ke memekku. Bunyi, plok, plok, plok bijih pelernya yang
memukuli kemaluanku tidak kunjung henti. Dia tahu aku belum orgasme. Dia
tetap mempertahankan irama tusukkan karena tahu aku demikian menikmati
gaya anjing ini. Limpahan cairan yang membecek pada kemaluanku tidak
mengurangi nikmatnya tusukkan. Bahkan licinnya batang keluar masuk ini
merangsang gelinjangku dengan sangat hebatnya. Aku meliuk dan menaik
turunkan pantatku. Aku benar-benar menjadi anjing betina yang memeknya
dikocok-kocok jantannya. Aku merintih dengan sangat hebat dan berteriak
histeris saat orgasmeku datang menyongsong tusukkan-tusukkan pejantan
ini. Aku mendapatkan sensasi nikmat birahinya anjing betina. Aku tak
kunjung usai juga. Aku mengimpikan orgasme yang beruntun. Ronadpun
demikian pula.
Sanggama kali ini bersambung tanpa jeda walaupun kami
telah meraih orgasme-orgasme kami. Genjotan dan pompaan terus kencang
dan semakin cepat. Kami dilanda histeris bersamaan. Kami
berguling-guling. Ronad menyeret aku ketepian ranjang. Dengan tetap
berposisi nungging, Ronad menembusi memekku dengan berdiri dari lantai.
Kontol itu, duh.. sangat legit rasanya. Hunjamannya langsung merangsek
hingga menyentuh tepian peranakanku. Ujung-ujungnya mentok menyentuhi
dinding rahimku. Aku nggak tahan.. Ronaadd.. Edan, kami bersanggama
tanpa putus selama lebih dari 40 menit. Aku kagum akan ketahanan Ronad
yang 52 tahun itu. Kontolnya tetap ngaceng dan mengkilat-kilat saat
akhirnya kami istirahat sejenak. Baru kali ini secara gamblang dan jelas
aku menyaksikan kontol lelaki. Selama ini aku dan suamiku selalu
bersanggama dalam gelap atau remang-remang. Dan kami merasa seakan tabu
untuk melihati kemaluan-kemaluan kami. Aku sendiri masih malu saat Ronad
melihati dan ngutik-utik kelentitku.
Dan kini aku heran, kenapa
demikian susah untuk tak melihati kontol Ronad ini. Aku heran, kenapa
barang ini bisa menghantarkan aku pada kenikmatan yang demikian
dahsyatnya. Jam 10 pagi Ronad pamit. Dia bilang mesti ke rumah sakit
memenuhi janji dengan pasiennya. Aku nggak akan mencegahnya. Dia akan
kembali nanti jam 3 sore. Aku nggak komentar. Suamiku telepon, dia
ngajak aku makan siang di restoran, dia akan menunggu aku di bawah.
Sesudah aku mandi aku keluar kamar dan turun. Aku jaga agar penampilanku
nampak tetap segar. Pergulatan seksual yang penuh hasrat dan nafsu
birahi antara aku dan Ronald yang pemerkosaku telah meninggalkan
berbagai rasa pedih di selangkanganku. Setiap aku melangkah gesekan
antara paha juga terasa nyeri. Aku harus bisa mengatasi ketidak nyamanan
ini.
Ternyata hingga jam 6 sore Ronad tidak balik. Mungkin ada krisis di
rumah sakitnya. Anehnya, aku merasa kesepian. Aku telah terjebak dalam
nikmatnya perkosaan. Aku gelisah selama jam-jam menunggu ketukan di
pintu. Aku merasa sangat didera nafsu birahiku. Aku ketagihan. Aku
sangat ketagihan akan legit kontolnya. Terbayang dan seakan aku merasai
kembali legit itu menyesaki memekku. Walaupun resah melandaku aku
mengiyakan saat suamiku mengajak aku jalan-jalan bersama teman-temannya
ke Molioboro. Acaranya kami makan lesehan di jalan yang demikian
terkenal di dunia itu. Sepanjang jalan dan makan aku banyak melamun.
Suamiku nampak prihatin. Dia tetap hanya mengira aku kurang sehat dan
dilanda rasa bosan. Dia merangkuliku dengan mesra. Aku berpikir dan
melayang ke arah yang beda. Ah, Ronad, dimana kamu.. Malam itu suamiku
mencumbuiku. Aku harus memberikan respon yang sebaik dan senormal
mungkin. Aku merasakan betapa bedanya saat kemaluan suamiku memasuki
kemaluanku. Aku tidak merasakan apa-apa.
Hambar. Aku iba padanya. Tetapi sebagaimana yang biasa aku lakukan,
kini aku berpura nikmat, seakan aku meraih orgasme. Dan suamiku demikian
bernafsu memompakan kontol kecilnya hingga spermanya muncrat. Malam itu
dia tidur dengan penuh damai dan senyuman. Sementara aku tetap gelisah,
terganggu pikiran dan bayang-bayang Ronad. Besoknya, secepat suamiku
pergi ke penataran aku sudah tak sabar menunggu pintu. Aku ingin ada
perkosaan kembali. Ah, aku benar-benar khianat sekarang. Aku benar-benar
kehilangan harkatku. Aku benar-benar bukan lagi diriku sebagaimana yang
orang kenal selama ini. Aku adalah istri yang selingkuh, adalah
perempuan penyeleweng. Ketika 30 menit berlalu dan pintu tak ada yang
mengetuk, aku nekad. Kuputar telepon kamar Ronad. Dia nggak cepat
mengangkatnya. Aku mulai kesal. Ah, akhirnya Ronad bicara. “Maafin aku
sayang, baru selesai mandi, nih. Tadi malam sampai jam 11 malam.
Pasien-pasienku ngantre, ada yang datang dari Wonosobo, Semarang. Aku
nggak mungkin meninggalkannya, khan?!”. “Bagaimana kalau aku yang ke
kamarmu?” Gila, aku sudah sedemikian nekadnya. “Boleh, ayo, biar aku
bukain pintu. Kamu langsung masuk sebelum ada orang lain lihat, OK?”.
Aku cepat merapikan pakaianku kemudian dengan cepat bergegas ke
kamarnya. Benar, dia barusan mandi. Handuknya masih melilit di tubuhnya.
Kuperhatikan dadanya yang bidang dan bersih. Ah, kenapa aku nggak
pernah memperhatikan benar selama 2 hari ini. Bukankah dia sangat
sensual. Mungkin karena kepanikanku yang selalu mengiringiku saat jumpa
dan bersama dia. Kami langsung saling berpelukan dan melumat bertukar
lidah dan ludah. Aku merasa diriku menjadi sangat agresif dan nggak
pakai malu-malu lagi. Dengan cara seloroh, kukait ikatan handuknya
hingga lepas ke lantai. Selintas tampak pemandangan yang sangat erotis
di cermin besar kamar Ronad. Aku yang berbusana serba tertutup lengkap
dengan kaca mata dan kerudung di kepala sedang berpelukan dengan lelaki
yang bukan suamiku yang dalam keadaan telanjang bulat. Nampak jelas
jembutnya yang tebal menyentuh pusarnya. Aku mencoba tertawa dalam
pesona birahi saat mengamati kontolnya yang sudah mengkilat dan tegak
ngaceng itu. Ronad tertawa pula sambil menggapai tanganku dan diarahkan
untuk meremasi kontol itu, “Ayolah, sayang, pegang. Pegang saja, enak,
lho. Nah, achh.. Enak banget tanganmu sayang..” dan dengan sedikit
merinding aku mencoba menggenggamnya. Aneh dan gila dan tak pernah mimpi
bahwa aku akan secara agresif akan meraih kontol lelaki yang bukan
suamiku ini. Dan tiba-tiba Ronad menekan bahuku. Dia menyuruh aku untuk
jongkok, “Pandangilah, sayang. Kontolku ini milikmu. Pandangilah. Indah
sekali lho, ayo.
Pandangilah milikmu ini”, tekanannya itu sesungguhnya merupakan
sebagian dari harapan dan keinginan nafsuku kini. Aku berjongkok pada
lututku hingga kontolnya tepat berada tepat di depan wajahku. “Elusilah,
dia akan semakin tegak dan membesar. Indah, kan..?”. Ah, aku sangat
kesetanan menyaksikannya. Ini merupakan sensasi lagi bagiku. Dan tangan
Ronad tak henti. Dia meraih kepalaku yang seutuhnya masih berkerudung
dan menariknya untuk mendekatkan wajahku ke kontolnya itu. Aku tersihir.
Aku pasrah dengan tangannya yang mengendalikan kepalaku hingga kontol
itu menyentuh wajahku, menyentuh hidungku. Kilatannya seakan memanas dan
mengepulkan aroma. Aku mencium sesuatu yang sangat merangsang
sanubariku. Bau kontol itu menyergap hidungku. Tangan Ronad tak juga
henti. “Cium saja, ini punyamu, kok. Ciumlah. Ayoo, ciumlah”. Ah, untuk
kesekian kali aku ikut saja maunya. Ah, kontol itu menyentuh bibirku.
“Ayo, cium, nggak apa-apa. Ayoo, sayang. Ciumlah. Ayoo..” Aku merem saat
mulutku sedikit menganga menerima ujung mengkilat-kilat itu, sementara
dorongan tangannya membuat gigiku akhirnya tersentuh ujung itu. “Ayoo,
sayang..”. Dan aku, dan mulutku, dan lidahku, dan hatiku, dan
sanubariku, dan akuu.. Akhirnya menerima kontol Ronad menembusi bibirku,
menyeruaki mulutku. Aku menerima terpaan getar nikmat yang membuat
tubuhku merinding dan menggelinjang. Aku didorong oleh kekuatan macam
apa ini, saat aku menerima adanya norma baru, yang selama ini merupakan
sangat tabu bagiku, dan sangat menjijikkan bagi penalaranku. Bahkan aku
menerima dengan sepenuh hasrat dan nafsu birahiku. Aa.. Aku.. aku..
Mulai mencium dan melumat kontol Ronad.. “Ah, sayang, kamu nampak begitu
indah, sayangg.. Indah sekali, sayang.. Sangat indah, sayang.. Indah
banget sayang..”, Ronad meracau tidak menyembunyikan kenikmatan libido
erotisnya saat melihati aku mengulum dan menjilati kontolnya.
“Terus, sayang.. Terus.. Enak sekali, sayang.. Teruss..”. Dan aku
menunjukkan gerakan melumat dan menjilat secara sangat intens. Terkadang
aku cabut kontol itu untuk aku lumati batangnya yang penuh belukar
otot-otot. Tanganku tak bisa lagi diam. Sementara tangan kananku
menyangga kontolnya dan mengedalikan kemana mauku, tangan kiriku
mengelusi bijih pelirnya dan sesekali naik meraupi jembutnya yang sangat
tebal itu. Duh.. Aku menemukan keindahan, erotisme dan pesona birahi
yang tak bisa kuungkapkan dalam kata-kata. Aku hanya bisa tangkap dengan
hirupan hidungku, dengan rasa asin di lidahku, dengan keras-keras
kenyal dalam genggamanku, dengan nafas memburuku. Aku benar-benar larut
dalam pesona dahsyat ini. Dan ketika aku rasakan Ronad mulai
menggoyangkan pantatnya menyanggamai mulutku, dan ketika kudengar dia
mulai benar-benar merintih dan mendesah yang membuat aku semakin
terbakar oleh libidoku yang memang telah menyala-nyala aku menyadari
bahwa macam nikmat birahi itu demikian banyaknya. Aku nggak pernah
merasakan macam ini sebelumnya. Membayangkan saja aku tabu dan jijik.
Dan ketika kini aku justru begitu intens melakukannya, tiba-tiba hadir
begitu saja keinginanku untuk mempersembahkan kenikmatan yang hebat bagi
lelaki bukan suamiku ini. Aku akan biarkan apabila dia menghendaki
memuncratkan air maninya ke mulutku. Aku pengin merasakan, bagaimana
semprotan hangatnya menyiram langit-langit mulutku. Aku pengin merasakan
rasa pejuh dan spermanya di lidahku. Aku pengin merasakan bagaimana
berkedutnya kontol Ronad dalam mulutku saat spermanya terpompa keluar
dari kontolnya. Dan saat goyangan maju mundur pantatnya makin
mengencang, tangannya mulai dengan benar-benar membuat kulit kepalaku
pedih karena jambakan dan remasannya karena menahan nikmat tak
terperikan dari kuluman dan jilatanku, aku sudah benar-benar menunggu
kesempatan itu.
Aku sendiri melenguh dan merintih dalam penantian itu. Dan dengan
iringan teriakan histerisnya yang keluar terbata-bata dari mulut Ronad,
akhirnya sebuah kedutan besar menggoncang rongga mulutku. Cairan kental
panas luber menyiprat dan menyemprot-nyemprot langit-langit mulutku. Tak
henti-hentinya. Entah 7 atau 8 kedutan yang selalu diikuti dengan
semprotan air mani hangat. Mulutku langsung penuh. Terlintas kembali
rasa jijik. Aku ingin muntahkan apabila kedutan itu habis. Tetapi
ternyata itu lain dengan apa yang terlintas dalam benak, nafsu dan
tingkah Ronad. Tangannya meraih dan menekan kepalaku untuk lebih
menghunjamkam kontolnya hingga menyentuh tenggorokanku. Dan pada saat
yang bersamaan dengan penuhnya air mani di mulutku, tangannya dengan
kuat membekap hidungku. Sungguh kasar dan sadis dokterku ini. Seperti
saat seseorang mencekoki jamu pada anaknya, aku dipaksanya menelan semua
air mani yang tumpah dalam mulutku. Aku gelagapan dan hanya punya satu
pilihan agar tidak tersedak. Kutelan semua cairan kentalnya. Uhh.. uh..
uh.. Ronad.. Kamu gila benar sih.. Sesudah yakin semua air maninya telah
tertelan dan mengaliri tenggorokanku dia lepaskan bekapan hidungku. Aku
langsung menarik nafas panjang. Aku pandangi dia. Aku heran dengan
perilaku kasarnya itu. Dia menyadari betapa pandangan heranku, “Maaf,
zus, aku jadi kasar, aku nggak mampu menahan nafsuku.. Aku sangat ingin
menyaksikan zus yang cantiknya dari ujung kepala hingga ujung kaki
menelani air maniku. Maafin saya, ya, zus. Sayang..”, aku melihati
matanya dan mengangguk kecil. Sesungguhnyalah aku tak begitu kecewa.
Bahkan aku merasakan, betapa air mani itu juga sangat nikmat rasanya.
Rasanya mengingatkan pada kelapa muda yang sangat muda. Kukatakan
padanya apa yang kurasakan. “Yaa.. memang, air mani itu, khan, hormon,
bersih dan sehat. Air mani itu protein juga”, katanya. Aku percaya akan
pengetahuan dokternya. Aku bisa ketagihan, nih. Mungkinkah aku minum
sperma suamiku? Ah, jangan, nanti dia malahan curiga, dari mana aku
belajar macam ini?! Bercumbu di kamar Ronad memberikan rasa lebih aman
dan tenang bagiku. Aku nggak merasa diburu waktu atau khawatir
sewaktu-waktu suamiku muncul di pintu. Sampai jam 11.40 kami terus
menerus saling mencumbu. Pada akhir percumbuan tadi Ronad menunjukkan
padaku bagaimana tampilan kontolnya saat ejakulasi. Menjelang muncrat
sesudah gencar memompa kemaluanku dia cabut kontolnya. Dengan
mengarahkan ujungnya ke mukaku dia kocok dengan tangannya kontolnya. Aku
perhatikan bagaimana kontol itu semakin membengkak dan sangat
mengkilat-kilat kepalanya. Aku menyiapkan wajahku untuk menerima terpaan
semprotan air maninya. Kusaksikan bagaimana batang itu menganguk-angguk
setiap semprotan itu muncrat keluar. Dan aku rasakan sangat sensasional
saat dia muntahkan air maninya menyemproti mukaku, rambutku, kaca
mataku dan membasahi bagian tubuhku lainnya. Aku kembali ke kamarku dan
mandi untuk menunggu suamiku dari penatarannya. Aku panggil pelayan
hotel untuk mencuci semua pakaianku yang bekas aku pakai bersama Ronad.
Siang itu suamiku kembali mengajak aku makan di restoran. Suamiku
memberi tahu bahwa besok merupakan hari terakhir penataran yang akan
selesai dan ditutup pada siang hari. Suamiku bilang akan langsung pulang
untuk mengejar sore harinya sudah sampai di rumah. Rencana hari ini
penataran akan berhenti jam 3 sore. Rombongan suamiku telah menyiapkan
bus AC untuk bersama-sama melihat Keraton Yogya. Kemungkinan rombongan
yang didalamnya ada Pak Gubernur Jawa Tengah akan disambut langsung oleh
Sultan Yogya. Aku diminta untuk bersiap-siap menyertai dan mendampingi
Ibu Gubernur. Aku tanyakan tepatnya waktu, suamiku menjawab jam 3.20
tepat rombongan akan meninggalkan hotel. Aku boleh bersiap-siap hingga
menjelang jam 3 sore itu. Mungkin suamiku tidak akan naik ke kamar, jadi
aku diharapkan telah berada di lobby pada jam tersebut. Terus terang
aku tidak “happy” dengan rencana itu. Bukankah berasyik masyuk dengan
Ronad akan jauh lebih mengasyikkan?! Tetapi aku tidak memiliki alasan
untuk menolaknya. Begitu suamiku kembali ke ruang penataran, aku
menelpon Ronad dari lobby dan kusampaikan programku sore ini. Dia
menunggu aku di kamarnya. Kami sepakat untuk memuas-muaskan diri sampai
jam 2.30. Aku sudah perhitungkan dalam 15 menit aku bisa merapikan diri
dengan busana santai, sekedar jeans dan blus yang praktis, dan turun ke
lobby 10 menit sebelum waktunya.
Begitulah, aku merasa semakin dikejar keterbatasan. Aku merasa betapa
kesempatan berasyik masyuk tinggal sesaat di siang hari ini dan besok
di siang hari pula. Aku menjadi terpana ketika berpikir betapa selama
mengikuti suami kali ini aku telah memasuki petualangan yang sangat
berbahaya bagi kehidupan rumah tanggaku, kehidupan duniaku maupun alam
fanaku nanti. Aku heran sendiri, kok mampu berbuat macam ini, melakukan
penyelewengan langsung di belakang suamiku yang tengah berjuang untuk
meningkatkan kehidupan kami bersama. Tetapi aku memang sedang dilanda
mabok. Kenikmatan birahi ini demikian memabokkan aku. Meraih orgasme
dari orang yang bukan suamiku yang pada awalnya bukan mauku. Tetapi
perkosaan yang tak mampu aku lawan ini telah merubah aku menjadi istri
yang nyeleweng. Dan kini justru aku yang seakan ketagihan dan berbalik
mengejar sang pemerkosa itu dengan sepenuh nafsu birahiku. Kenapa aku
mesti mengalami dan melewati peristiwa macam ini. Ah.. aku jadi linglung
kalau memikirkannya. Biarlah apa yang terjadi, terjadilah.. Siang itu
aku nampak terlampau merangsek Ronad untuk mengejar kepuasan nafsu
birahiku. Aku sudah tidak menghitung-hitung risiko. Aku demikian larut
dalam kenikmatan kontol Ronad. Edan. Sore harinya suamiku kembali
mengajak aku makan lesehan di Malioboro. Dan malam harinya dia mecumbu
aku. Aku merasa tak ada gairah sama sekali. Suamiku merasakan sikapku
ini. “Udahlah ma, besok kan sudah nyampai di rumah lagi”
Kasihan suamiku yang demikian memprihatinkan aku. Besoknya, waktu
yang semakin sempit merembet tak mungkin kuhindari. Begitu suamiku pergi
ke lantai 2, aku tak sabar lagi. Aku ketuk pintu Ronad. Kami langsung
berpagutan. Aku merasakan waktu semakin mendekati habis, semakin
menyala-nyala nafsu seksualku. Aku semakin merangsang untuk merangseki
Ronad. Kini akulah yang mendorongnya ke ranjang. Kini akulah yang seakan
memperkosanya. Kulepasi celananya, kemejanya, celana dalamnya. Kuciumi
tubuhnya, dadanya, ketiaknya, perutnya, selangkangannya. Aku jadi sangat
liar dan buas. Akulah yang menyanggamai dia. Dia serahkan tubuhnya
untuk kepuasanku. Aku naik ke atas kontolnya. Dengan setengah menduduki
tubuhnya, aku masukkan kemaluannya yang telah tegang dan kaku menembus
memekku. Aku pompa dengan cepat dan penuh nafsuku. Aku dapatkan
orgasmeku hanya dalam 3 menit sejak aku mulai memompa.
Aku menjadi demikian blingsatan dalam gelinjang birahi yang tak lagi
terkendali. Ronad nampaknya menikmati ulah keblingsatanku ini. Aku rubuh
ke sampingnya. Selanjutnya Ronad mengambil alih. Kontolnya yang belum
terpuaskan dia tusukkan ke memekku kembali. Dia pompakan dengan
cepatnya. Rasa pedih dan perih pada bibir-bibir kemaluanku semakin
terasa menyiksaku. Aku merintih dan mengaduh-aduh kesakitan. Ronad
justru nampak sangat menikmati kesakitanku. Dia balikkan tubuhku dan
angkat pantatku hingga aku nungging tinggi-tinggi. Aku tahu dia ingin
aku menjadi anjing betinanya. Tetapi.. Acchh, .. Tidak.. tidakk..
jangann.. Rupanya Ronad tidak hendak menyanggamai kemaluanku. Dia
menjilati anusku. Uhh.. aku tak pernah membayangkan sebelumnya. Dia
menciumi dan menusuk-nusukkan lidahnya ke lubang pembuangan taiku. Dia
nampak sangat menikmati aroma pantatku itu, sambil kedua tangannya
merabai dan kemudian memerasi buah dadaku. Oohh.. ampuunn.. Ronadd..
Kenapa kamu selalu memberikan sensasi yang serba dahsyat padaku.. Kenapa
kamu selalu memberikan pembelajaran berbagai nikmat sensasional begini
macam padaku.. Ronaadd.. Jangann..!! Aku rasakan bagaimana ujung
lidahnya menyapu bibir-bibir analku.
Aku rasakan bagaimana bibir Ronad mengecupi lubang anusku. Aku
rasakan bagaimana hidungnya berusaha menyergapi segala rupa aroma yang
menyebar dari pantatku. Aku rasakan bagaimana ludahnya membasahi hingga
kuyup seluruh wilayah di seputar analku ini. Dan puncak dari segala
puncak ketakutanku akhirnya datang. Ronad bangkit. Dia setengah jongkok
mengangkangi pantatku. Aku masih berpikir bahwa dia hendak menusukkan
kontolnya ke memekku. Aku masih berpikir dan membayangkan nikmat jadi
anjing betinanya Ronad. Aku masih berpikir bagaimana sesak dan legitnya
kontol Ronad menusukki kemaluanku dengan cara nungging anjing ini. Aku
sama sekali tidak berpikir lain.. Tiba-tiba, tanpa kompromi, kontol
Ronad didesak-desakkanya ke pantatku. Dia hendak melakukan sodomi
padaku. Edan kau Ronad, bajingan kauu.. Kamu bisa membunuh aku Ronad..
Nggak! Nggak akan aku rela melayani maumu ini Ronad.. Biar mati aku akan
lawan kamu Ronad.. Aku nggak akan berikan pantatku untuk kepuasan nafsu
biadabmu Ron.. Aku berguling. Kutendang perutnya, dia mengelak. Kucakar
tangan dan dadanya, dia pegang tangan-tanganku, kugigit bahunya yang
rebah ke wajahku, dia berkelit. Aku teriak-teriak, dia membiarkan.
Kupingnya sangat menimati teriakkanku. Dia terus merenggutku dengan
tanpa bicara. Aku terus menggeliat-geliat untuk melawannya. Tiba-tiba,
aku nggak tahu dari mana dia mengambilnya, dia keluarkan borgol. Borgol
itu borgol besi yang aku sering lihat di TV digunakan polisi saat
menangkap maling atau penjahat. Tangan kiriku direnggut paksa dan
diborgolkannya ke kisi-kisi ranjang Novotel. Berhasil. Kemudian dia
renggut kembali tangan kananku, dia keluarkan borgol yang kedua untuk
memborgolkan tangan kanan ini ke kisi-kisi yang lain. Aku langsung
dilanda cemas ketakutan yang amat sangat. Akankah dia melukai aku? Aku
panik. Sangat panik. Aku sangat histeris ketakutan. Aku memohon dengan
tangisan panikku. “Jangan.. jangan Ronad.. ampuni akuu.. Jangan borgol
aku.. Ampuni aku Ronad..”, aku menghiba dalam histeris. Kini benar-benar
aku seperti hewan yang dilumpuhkan yang siap menunggu penyembelihan.
Akankan aku jadi hewan korban kebiadaban Ronad? “Sayang, jangan takut..
Aku nggak akan sakiti kamu.. Kamu akan aku berikan kenikmatan yang tak
akan pernah kamu lupakan..” Aku masih menangis minta belas kasihannya..
Kini dia mendekat ke tubuhku. Dia gulingkan setengah miring pantatku.
Dia angkat kakiku hingga melipat ke arah dadaku. Dan kembali pantatku
menjadi terpampang. Kemudian dengan merapat dari arah punggungku, Ronad
memeluk tubuhku.
Kemudian kembali kurasakan kontolnya merapat ke arah pantatku. Dia
akan terus melakukan sodomi padaku. Apa dayaku. Aku yang kini terangket,
tak lagi mampu melawan dengan cara apapun. Saat dia tusuk-tusukkan
kontolnya ke lubang pantatku aku mulai merasakan betapa pedih dan
sakitnya. Aku rasakan seakan berjuta saraf-saraf peka di lubang analku
sepertinya hancur oleh tempaan ujung kontolnya yang demikian keras itu.
Aku menangis kesakitan dan penuh iba. Ronald tahu, karena dia adalah
dokter. Dia hentikan tusukkannya. Dia ambil ludahnya dan dioleskan ke
lubang duburku. Beberapa kali dia lakukan sebelum kemaluannya kembali
untuk berusaha menembusinya lagi. Saat aku kembali berteriak sakit, dia
membisikkan ketelingaku. “Kamu mesti santai, kendorkan saraf-sarafmu,
jangan tegang, jangan khawatir. Kamu percaya padaku, khan?”. Duh, suara
Ronald langsung membiusku. Aku percaya padanya. Dan sesungguhnyalah aku
sangat berhasrat padanya. Akupun berusaha untuk lebih tenang. Toh aku
nggak bisa berbuat lain. Tangan-tanganku terborgol dan Ronald telah
demikian melumpuhkan aku. Kemudian aku merasakan seperti ada pemukul
soft ball yang memaksakan menembusi anusku. Aku yakin pantatku mulai
terluka, mungkin berdarah.
Beberapa kali aku rasakan Ronad mengulangi melumasi lubangku dengan
ludahnya. Akhirnya setelah beberapa kali dan sedikit demi sedikit
menyodok masuk, kontol Ronad berhasil tembus tertanam dalam lubang
taiku. Aku mungkin kelenger. Aku tak mampu lagi merasakan sakit atau
tidak sakit lagi. Aku lunglai dalam rasa panas dan pedas yang amat
sangat. Aku tak mampu lagi berontak atau melawan. Aku benar-benar jadi
pesakitan. Aku adalah korban keganasan Ronald. Dan saat Ronad mulai
memompakan kontolnya, aku benar-benar pingsan. Entah berapa lama. Aku
terbangun saat aku rasakan ada air yang menyiram wajah dan mulutku
hingga aku gelagapan. Pelan-pelan aku membuka mataku.
Aku belum melihat apa-apa. Aku masih mengingat-ingat apa yang telah
terjadi. Kulihat ada bayang-bayang gelap yang hampir menutupi wajahku.
Dan.. Biadab, anjiingg.. Begundal busuk kau Ronaadd.. Dia benar-benar
gila. Dia tengah menduduki aku dengan kontolnya yang mengarah dan
mengencingi wajah dan mulutku. Sebagian air kencingnya masuk kemulutku
dan tertelan hingga membuat aku gelagapan tersedak-sedak. Kudengar
samar-samar. “Minum, ini sundal, minum kencingku. Ayoo.. Minum.. Air
segar inii.. minum perempuan sial.. Minum kencingku sundalku..”
Tangannya membekap hidungku yang langsung membuat mulutku ternganga
mencari nafas. Dan pada saat yang bersaman air kencing itu deras ngucur
ke mulutku. Bagaimanapun aku tak terpaksa menelannya. Aku gelagapan
setengah mati dan kembali pingsan. Entah berapa lama aku kelenger..
Hingga kudengar bunyi telepon keras berdering.. Kubiarkan telpon itu
terus berdering hingga berhenti dengan sendirinya.. Badanku, celana
jeans dan blusku, seprei ranjang, selimut, bantal, semuanya basah. Bau
anyir dan pesing memenuhi kamar. Aku jadi ingat, itu air kencing. Aku
juga jadi ingat tanganku, telah lepas dari borgolku. Aku jadi ingat saat
terakhir yang aku ingat, Ronad menduduki dadaku dan kencing ke wajah
dan mulutku.. Kemana dia sekarang..?? Dimana Ronad bajingan itu..??
Tiba-tiba rasa mual langsung menyergap aku. Aku tak mampu menahan
ingatan itu dan mualku makin menjadi-jadi. Aku muntah-muntah. Telpon
kembali berdering keras. Dengan terseok aku bangkit dari ranjang dan
kuraih telepon, “Cepat balik ke kamarmu, penataran sudah selesai,
suamimu sedang menuju ke lift untuk kembali ke kamar. Cepat..!!” itu
suara Ronad. Telepon langsung putus. Aku panik. Kusambar apa yang
kuingat. Aku keluar kamar Ronad dan kembali ke kamarku. Tanganku gemetar
tak keruan saat memasukkan kunci pintu. Aku berkejaran dengan suamiku.
Aku berkejaran dengan nasibku.
Aku berkejaran dengan keutuhan keluargaku. Aku berkejaran dengan
martabatku.. Dengan terseok aku berlari ke kamarku dan langsung masuk
kamar mandi dan mengunci pintunya. Ah.. ini semua adalah hasil
kebodohanku.. Aku benar-benar keluar dari siksaan neraka jahanam..
Kudengar seseorang membuka pintu kamar. “Ma, kok pintunya nggak
dikunci..?” terdengar suara suamiku. Ah, ademnya.. damainya.. Shower
dingin di kamar mandi langsung membuat kesadaranku kembali utuh. Saat
aku keluar kamar mandi suamiku menjemputku dan mencium aku dengan
sepenuh cinta dan kerinduannya. “Kita pulang, Ma. Ayo cepetan dandan,
teman-teman sudah menunggu makan siang. Aku telepon ke kamar tadi.
Kemana kamu, Ma? Shopping? Jalan-jalan?” Ah.. Suamiku.. Cinta sejatiku..
Orang yang kuingkari.. Yang aku khianati.. Sejak saat itu aku tak
pernah berjumpa lagi dengan Ronald. Tak aku pungkiri, hingga kini aku
masih merindukan kontolnya yang gede panjang itu. Aku masih terobsesi
padanya. Aku sering membayangkan betapa kekerasan dan kekasarannya
memberikan nikmat syahwatku. Dalam keadaan sendiri aku sering mencoba
ber-masturbasi. Aku merindukan orgasme beruntun yang kudapatkan dari
dia. Aku pernah mencoba menghubungi telpon yang tertera di kartu
namanya. Ternyata dia telah pindah. Dia tidak lagi berdomisili di
Malang. Saat berkumpul dengan ibu-ibu kenalanku, aku suka memancing,
apakah mereka pernah periksa ke dokter kandungan? Aku berharap mereka
pernah berjumpa dengan Ronald. Tetapi pertanyaanku tak ada jawabannya.
Aku juga coba telpon ke Novotel, apakah ada tamu berinisial Ronald
menginap di hotel ini?! Akhirnya aku menyerah. Dia telah raib dibawa
angin lalu.
Aku juga berharap, kapankan angin lalu juga membawa raib obsesiku?
Sungguh lelah mencoba menempatkan hasrat birahi dalam penantian tanpa
kunjung jelas. Aku akan berusaha melupakannya. Aku mencoba memberikan
perhatian lebih banyak kepada suamiku. Aku melengkapi perabotan dapurku.
Aku punya hobby memasak makanan oriental. Kemarin masakan suamiku
memuji masakanku Muc Don Thit. Masakan tumis cumi yang telah aku isi
dengan soun, hioko dan jamur kuping. Aku juga membuat Tom Yang Goong
yang pedasnya demikian menggigit. Kami makan malam bersama dalam
penerangan lilin. Aku sempat keluar keringat karena kepedasan.
sekian cerita dewasa ini sebagai pembukaan blog saya ini
kunjungi facebook saya ( pekanbaru)
Coin Casino (2021) Bonuses & Free Spins
BalasHapusCheck out our kadangpintar selection of Coin Casino, 인카지노 their games, and bonuses. Read the review before you play! See 1xbet the latest Coin Casino promotions and claim your